Satu skandal besar mengguncang RSUD Kota Cilegon. Seorang dokter spesialis bedah berinisial AY diduga tidak masuk kerja selama tujuh tahun, tetapi tetap menerima gaji dan tunjangan. Fakta ini baru terungkap belakangan ini, menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin selama bertahun-tahun hal ini bisa terjadi tanpa ada yang menggugat?
Berdasarkan pemberitaan dari bantenraya.com (13/3/2025), menurut keterangan mantan pemeriksa Inspektorat, persoalan ini sudah terdeteksi sejak 2019. Namun, selama bertahun-tahun, tidak ada tindakan tegas yang dilakukan. Bahkan, Inspektorat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawasi kinerja dan memberikan pembinaan terhadap aparatur sipil negara (ASN) justru tampak tidak berdaya menghadapi kasus ini.
Direktur RSUD dan Kepala BKPSDM Cilegon Bungkam
Meski kasus ini menjadi sorotan publik, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Cilegon serta Direktur RSUD Kota Cilegon hingga saat ini masih memilih bungkam. Tidak ada pernyataan resmi yang menjelaskan bagaimana kasus ini bisa terjadi, siapa yang bertanggung jawab, dan langkah apa yang akan diambil untuk mengusutnya.
dr. H. Lendy Delyanto, MARS selaku Direktur ketika ditanya awak media, tidak memberikan pernyataan apapun selain mengarahkan rekan media untuk terlebih dahulu menghubungi bagian Humas RSUD Kota Cilegon.
Diamnya dua pejabat penting ini justru menimbulkan lebih banyak spekulasi. Apakah ada pihak lain yang ikut bertanggung jawab dalam kelalaian ini? Mengapa seorang dokter bisa bertahun-tahun tidak masuk kerja tanpa ada yang menyadari atau melaporkan? Publik tentu berhak mendapatkan jawaban yang jelas dan transparan.
Kabar yang diterima, masih dari bantenraya.com, Yoyo selaku Humas RSUD Cilegon memberikan keterangan bahwa dokter AY sudah dipecat sejak Per Februari lalu. Namun, saat ditanya bukti otentik suratnya, ia sendiri tidak bisa memperlihatkan surat pemecatan AY kepada media.
Pernyataan ini jelas sulit untuk diterima. Dalam sistem hukum Indonesia, prinsip penegakan hukum tidak bergantung pada adanya laporan semata, tetapi juga pada fakta dan bukti yang menunjukkan adanya unsur tindak pidana. Misalnya, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan tindak pidana yang telah terjadi. Ini sama halnya, meskipun dokter AY telah diberhentikan, jika ada indikasi kerugian negara akibat pembayaran gaji tanpa kehadiran, maka tetap harus diproses secara hukum.
Selain itu, dalam Pasal 78 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), disebutkan bahwa tindak pidana korupsi memiliki daluwarsa yang panjang, yaitu dari 1 tahun hingga 18 tahun, tergantung pada ancaman hukuman berdasarkan tindak pidananya. Ini berarti, meskipun dugaan pelanggaran terjadi bertahun-tahun lalu, aparat penegak hukum masih memiliki wewenang untuk menindaklanjuti kasus ini.
Dengan demikian, alasan Inspektorat bahwa tidak adanya laporan membuat kasus ini tidak dapat ditindaklanjuti belum sepenuhnya tepat dalam sudut pandang hukum. Negara tidak boleh membiarkan adanya celah hukum yang memungkinkan seseorang menikmati uang negara tanpa bekerja, hanya karena administrasi pelaporan yang lemah. Jika logika ini diterima, maka dikhawatirkan akan ada kejadian serupa dikemudian hari.
Diamnya dua pejabat penting ini justru menimbulkan lebih banyak spekulasi. Apakah ada pihak lain yang ikut bertanggung jawab dalam kelalaian ini? Mengapa seorang dokter bisa bertahun-tahun tidak masuk kerja tanpa ada yang menyadari atau melaporkan? Publik tentu berhak mendapatkan jawaban yang jelas dan transparan.
Kelalaian Kepala BKPSDM dalam Pengawasan ASN Berdasarkan Perwal
Dalam kasus dugaan bolosnya dokter AY selama tujuh tahun di RSUD Kota Cilegon, peran Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) patut dipertanyakan. Sesuai dengan Peraturan Walikota (Perwali) Kota Cilegon Nomor 27 Tahun 2022, BKPSDM memiliki tugas pokok dalam manajemen kepegawaian dan pembinaan Aparatur Sipil Negara (ASN) di wilayahnya.Kelalaian dalam pengawasan dan penegakan disiplin ASN, seperti yang terjadi pada dokter AY, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yang menyatakan bahwa pejabat yang tidak menjatuhkan hukuman disiplin kepada PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dapat dikenakan hukuman disiplin yang lebih berat.
Dengan demikian, kelalaian Kepala BKPSDM dalam menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan disiplin terhadap dokter AY dapat mengarah kepada pelanggaran berat yang memerlukan tindakan tegas sesuai ketentuan yang berlaku.
Potensi Kerugian Negara
Tidak masuk kerja selama tujuh tahun tapi tetap menerima gaji? Ini jelas menimbulkan potensi kerugian negara yang besar. Logikanya, uang yang diterima dokter AY selama periode tersebut merupakan uang negara yang seharusnya diberikan kepada mereka yang benar-benar bekerja.
Kini muncul pertanyaan lain: apakah karena dokter AY sudah diberhentikan sebagai PNS, maka kasus ini akan berhenti begitu saja? Logika hukum menyatakan bahwa jika ada kerugian negara, maka hukum tetap berlaku surut. Artinya, meskipun tindakan itu terjadi di tahun-tahun sebelumnya, proses hukum tetap harus berjalan untuk mengusut siapa yang bertanggung jawab.
Inspektorat Sebut Kasus Ini Tidak Bisa Ditindaklanjuti, Benarkah?
Meski skandal ini menunjukkan adanya potensi kerugian negara akibat gaji dan tunjangan yang tetap dicairkan meski dokter AY diduga tidak pernah masuk kerja. Namun, yang lebih mengejutkan adalah respons Inspektorat yang menyatakan bahwa karena tidak ada laporan selama kurun waktu kejadian, maka dugaan penyelewengan uang negara serta kebijakan maladministrasi pejabat RSUD Kota Cilegon tidak bisa ditindaklanjuti.Pernyataan ini jelas sulit untuk diterima. Dalam sistem hukum Indonesia, prinsip penegakan hukum tidak bergantung pada adanya laporan semata, tetapi juga pada fakta dan bukti yang menunjukkan adanya unsur tindak pidana. Misalnya, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan tindak pidana yang telah terjadi. Ini sama halnya, meskipun dokter AY telah diberhentikan, jika ada indikasi kerugian negara akibat pembayaran gaji tanpa kehadiran, maka tetap harus diproses secara hukum.
Selain itu, dalam Pasal 78 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), disebutkan bahwa tindak pidana korupsi memiliki daluwarsa yang panjang, yaitu dari 1 tahun hingga 18 tahun, tergantung pada ancaman hukuman berdasarkan tindak pidananya. Ini berarti, meskipun dugaan pelanggaran terjadi bertahun-tahun lalu, aparat penegak hukum masih memiliki wewenang untuk menindaklanjuti kasus ini.
Dengan demikian, alasan Inspektorat bahwa tidak adanya laporan membuat kasus ini tidak dapat ditindaklanjuti belum sepenuhnya tepat dalam sudut pandang hukum. Negara tidak boleh membiarkan adanya celah hukum yang memungkinkan seseorang menikmati uang negara tanpa bekerja, hanya karena administrasi pelaporan yang lemah. Jika logika ini diterima, maka dikhawatirkan akan ada kejadian serupa dikemudian hari.
Hak Masyarakat Cilegon atas Skandal Dugaan Maladministrasi Dokter AY
Dalam kasus dugaan maladministrasi dan potensi kerugian negara akibat pembayaran gaji dokter AY yang diduga bolos selama tujuh tahun, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh kejelasan dan keadilan.Hak ini dijamin oleh berbagai regulasi, terutama merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Pasal 41 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan tindak pidana korupsi. Ini berarti masyarakat Cilegon berhak menuntut transparansi dari pemerintah daerah, Inspektorat, dan manajemen RSUD Kota Cilegon terkait pengusutan kasus ini. Selain itu, masyarakat juga berhak melaporkan dugaan korupsi ini ke aparat penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu, dalam konteks maladministrasi, masyarakat berhak mengajukan laporan ke Ombudsman RI sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2008, yang mendefinisikan maladministrasi sebagai perilaku atau tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, serta kelalaian dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Jika terbukti ada unsur pembiaran dari pihak RSUD atau Pemkot Cilegon, maka masyarakat dapat meminta Ombudsman untuk melakukan investigasi dan merekomendasikan sanksi terhadap pejabat terkait.
Hak masyarakat lainnya yang dijamin dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) adalah meminta data terkait kehadiran dokter AY, pencairan gaji dan tunjangan, serta dokumen hasil pemeriksaan Inspektorat. Jika badan publik menolak memberikan informasi, masyarakat bisa mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi.
Dugaan penyalahgunaan wewenang dalam kasus dokter AY ini tidak hanya tentang potensi merugikan keuangan negara, tetapi juga mencederai hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal di RSUD Kota Cilegon. Oleh karena itu, publik memiliki hak penuh untuk menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban dari semua pihak terkait.
Pasal 41 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan tindak pidana korupsi. Ini berarti masyarakat Cilegon berhak menuntut transparansi dari pemerintah daerah, Inspektorat, dan manajemen RSUD Kota Cilegon terkait pengusutan kasus ini. Selain itu, masyarakat juga berhak melaporkan dugaan korupsi ini ke aparat penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu, dalam konteks maladministrasi, masyarakat berhak mengajukan laporan ke Ombudsman RI sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2008, yang mendefinisikan maladministrasi sebagai perilaku atau tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, serta kelalaian dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Jika terbukti ada unsur pembiaran dari pihak RSUD atau Pemkot Cilegon, maka masyarakat dapat meminta Ombudsman untuk melakukan investigasi dan merekomendasikan sanksi terhadap pejabat terkait.
Hak masyarakat lainnya yang dijamin dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) adalah meminta data terkait kehadiran dokter AY, pencairan gaji dan tunjangan, serta dokumen hasil pemeriksaan Inspektorat. Jika badan publik menolak memberikan informasi, masyarakat bisa mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi.
Dugaan penyalahgunaan wewenang dalam kasus dokter AY ini tidak hanya tentang potensi merugikan keuangan negara, tetapi juga mencederai hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal di RSUD Kota Cilegon. Oleh karena itu, publik memiliki hak penuh untuk menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban dari semua pihak terkait.